Rabu, 28 Desember 2016

Potensi Wisata Pulau Kabaena Yang Belum Maksimal

Pulau Kabaena sekarang merupakan satu bagian dari masyarakat kapitalis yang bersifat setengah jajahan. Bilur-bilur luka akibat derasnya hantaman kapitalisasi sektor pertambangan pun semakin meluas di sekujur tubuhnya. Betapa tidak, serbuan 32 pemegang IUP telah menguasai kurang-lebih 80, 83% wilayah itu. Tak terhindarkan, yang terjadi hari ini di sini adalah serupa pusaran angin puting beliung yang berakibat sebagaimana diujarkan oleh Karl Marx sebagai ”all that is solid melts into air” (semua yang kokoh, kini telah menguap ke udara).

wisata pulau kabaena

Desa Pongkalaero dan Desa Puununu yang terletak di Kecamatan Kabaena Selatan, Kabupaten Bombana pada awalnya menyatu, sebelum dimekarkan pada 2006. Penduduk kedua desa itu bertetangga, karena dulunya mereka hidup sekampung. Kedua desa itu hanya dibatasi oleh sebuah Kali mati. Pemekaran juga ditandai keluarnya lima ijin tambang nikel. Kawasan yang luasnya hanya 7.271 hektar itu bahkan tak mampu menutup luasan konsesi tambang yang mencapai 11.670 hektar, hampir dua kali lipatnya. Ada dua perusahaan telah mengantongi izin kelayakan lingkungan, dua lainnya dalam tahap eksplorasi dan sisanya telah mendapat izin produksi.

Potensi Wisata Pulau Kabaena

Kini ada lima perusahaan terdaftar di wilayah desa Pongkalero dan Puununu yang ijinnya dikeluarkan Bupati, dan satu lainnya oleh Gubenur karena berada di perbatasan dua kabupaten, Bombana dan Buton. Sejak kehadiran mereka, warga desa Pongkalaero terpecah menjadi beberapa kelompok. Ada warga yang pro pertambangan dan ada yang tidak. Warga yang pro juga terbagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan perusahaan yang didukungnya. Seperti yang terjadi pada kasus PT Anugrah Hasirma Barakah (PT AHB) yang areal konsesinya berada di kawasan Malapulu.

Malapulu berada di bagian selatan pulau Kabaena. Dari kawasan ini warga desa Pongkalaero Puununu mendapatkan kayu dan hasil hutan lainnya. Mulai untuk membangun rumah, perahu , juga kerang-kerangan di hutan bakau sekitarnya. Menurut ketua Lembaga Adat Moronene Tokotua Abdul Majid Ege, dulunya telah diatur wilayah adat warga Pongkalaero untuk bercocok tanam dimulai dari Puununu berbatasan dengan desa Batuawu sampai di Malapulu.

Sekelompok warga telah menolak keberadaan PT AHB, yang mendapat ijin Gubernur. Alasan mereka perusahaan tidak menghargai keberadaan warga desa Pongkalaero karena menambang di dalam tanah ulayat warga tanpa pemberitahuan. Perusahaan hanya meminta izin kepada warga kecamatan Talaga kabupaten Buton. Padahal menurut mereka, keberadaan warga Talaga adalah illegal karena menyerobot lahan warga desa Pongkalaero. Kisruh antara warga dengan warga, juga warga dengan pemerintah ini dimanfaatkan PT Prima Nusa Sentosa (PNS). Perusahaan ini ijinnya pernah dicabut karena kawasannya tumpang tindih dengan PT AHB. Sebagian warga yang tak suka kepada PT AHB lantas mulai mengikuti pola permainan yang ditawarkan oleh PT PNS.

Keindahan Pulau Kabaena

Dalam perjalanannya, PT PNS juga telah memberikan uang sebagai tanda jual beli lahan. Lahan-lahan itu adalah lahan sengketa antara PT AHB dan PT PNS. Akibatnya saling curiga juga muncul antara sesama kelompok penentang PT AHB. Ketika keluar ijin perusahaan tambang baru, yaitu PT. Bakti Bumi Sulawesi, PT Margo maupun PT Tekonindo, warga yang kecewa maupun yang tidak tegabung pada dua perusahaan sebelumnya lantas mendukung perusahaan-perusahaan baru tersebut. Itulah ihwal mula empat kelompok yang berseteru satu sama lain mendukung perusahaan.

Warga desa terus Pongkalaero melakukan protes. Tapi gara-gara protes itu, belakangan mereka diintimidasi oleh aparat brimob yang bertugas mengamankan perusahaan. Warga desa Pongkalaero melakukan protes. Tapi gara-gara protes itu, belakangan mereka diintimidasi oleh aparat brimob yang bertugas mengamankan perusahaan.Kejadiannya berlangsung pada bulan Maret Maret 2011. Saat itu, sekelompok warga hendak menuju lokasi lahan yang akan dijadikan kebun. Sebelum sampai di lokasi, warga dihadang aparat Brimob yang bertugas menjaga lokasi PT AHB. Beberapa kali aparat tersebut mengeluarkan tembakan untuk menakut-nakuti warga.

potensi wisata pulau kabaena

Namun upaya tersebut tidak membatalkan niat warga untuk tetap melanjutkan pekerjaannya. Akan tetapi tetapi brimob menempuh jalan lain dengan membakar pondok penginapan warga. Mereka menembak warga (bagaimana kasusnya , kapan, siapa yang terlibat). Ketika warga melapor pada DPRD dan menyampaikannya ke media massa. Tiba- tiba sekelompok warga lainya, yang bekerja untuk perusahaan membantah intimidasi tersebut. Akhirnya warga dan pemerintah desa memutuskan memecat ketua BPD kedua desa tersebut. Ketika warga melapor pada DPRD dan menyampaikannya ke media massa. Tiba- tiba sekelompok warga lainya, yang bekerja untuk perusahaan membantah intimidasi tersebut. Akhirnya warga dan pemerintah desa memutuskan memecat ketua BPD kedua desa tersebut [Sahrul Gelo, Ketika Persaudaraan Menghilang].

Pandangan dominan mengenai intimidasi aparat negara terhadap warga desa karena ekspansi kapital seringkali reduksionis. Intimidasi kerap dilihat sebagai fenomena yang berdiri sendiri, terisolasi dari fondasinya, yakni kapitalisme. Turunannya, kritik terhadap Intimidasi/kekerasan selalu terbatas pada aspek-aspek tertentu saja, katakanlah, penyalah-gunaan wewenang aparat bersenjata. Solusinya, penyelesaian masalah dilokalisir pada level yang sama. Akar problem, yaitu, ekspansi kapital tidak disentuh.

Padahal, kita dengan mudah bisa melihat landasan teoritiknya. Sebagai sistem dengan karakter ekspansi geografi yang progresif, kapitalisme tanpa henti memerlukan ruang baru untuk mengeruk profit lebih besar. Reproduksi kapital, yakni, reinvestasi profit (nilai lebih) terus-menerus untuk memperoleh super profit, merupakan sifat dasar sistem ini. Perusahaan-perusahaan kapitalis, dengan satu dan lain cara, berkompetisi satu sama lain dengan reinvestasi profit termasuk memanfaatkan revolusi kemajuan teknologi untuk melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah baru secepat mungkin, demi perolehan bahan baku, eksploitasi tenaga kerja murah, dan perluasan pasar. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan dapat bernafas panjang dan tidak tersingkir. Salah satu faktor penghambat ekspansi yang mesti dilewati adalah merebut ruang di mana masyarakat non-kapitalis masih eksis. Caranya adalah penghancuran masyarakat non-kapitalis melalui perampasan alat-alat produksi. Ini adalah sifat yang tertanam dalam ekspansi geografi dari kapitalisme.

Penjelasan lebih baik mengenai intimidasi terhadap warga yang melakukan protes mesti merujuk ke keniscayaan ekspansi kapital. Teori yang sesuai adalah apa yang disebut Karl Marx sebagai akumulasi primitif (primitive accumulation) [Karl Marx, Das Kapital Volume I]. Inti akumulasi primitif adalah (1) memisahkan para produsen independen, utamanya para petani, dari alat produksi mereka (tanah) melalui perampasan dan mengingkari hak-hak petani (termasuk hak-hak adat) atas tanah, sehingga dengan demikian menghasilkan monopoli alat produksi di segelintir tangan; (2) membentuk kelas pekerja yang berasal dari para petani yang kehilangan alat produksi. Dikatakan primitif, karena merupakan fase paling awal yang mendahului dan diperlukan sebelum proses akumulasi kapital (capital accumulation) berlangsung. Yang membedakan akumulasi primitif dari akumulasi kapital adalah bahwa yang pertama bukan berlangsung di dalam hubungan-hubungan produksi kapitalis, tetapi menjadi pra-kondisi bagi akumulasi kapital. Yang kedua (akumulasi kapital) berlangsung di dalam hubungan-hubungan produksi kapitalis. Marx bilang ‘(primitive accumulation) forms the pre-history of capital, and the mode of production corresponding to capital.’ Akumulasi primitif, dengan demikian bukan merupakan efek akumulasi dari corak produksi kapitalis (capitalist mode of production), tetapi merupakan titik tolak (point of departure) dari akumulasi. Akumulasi primitif, oleh karena itu, merupakan sebuah fase sejarah yang mendahului kelahiran kapitalisme. Marx menggambarkan fase ini sebagai transisi dari feudalisme ke kapitalisme.

Ada beberapa ciri akumulasi primitif yang bisa dilihat dalam momen yang lebih konkrit, seperti peristiwa di Kabaena. Pertama, akumulasi primitif melalui penghancuran masyarakat yang belum terinkorporasi ke dalam hubungan-hubungan produksi kapitalis (non-kapitalis), yakni, dengan merampas alat produksi mereka secara langsung serta menghancurkan hubungan kekerabatan antar warga. Dengan demikian, memberi jalan agar akumulasi kapital menjadi mungkin atau berlangsung leluasa. Di Kabaena, penghancuran terjadi melalui pemutusan akses tradisional nelayan dan petani ke area perkebunan dan penangkapan ikan serta mengadu domba warga setempat.

Kedua, sentral dari akumulasi primitif adalah peran Negara (direct state-mediated primitive accumulation). Caranya macam-macam, di antaranya melalui legislasi, terutama berkenaan dengan sistem kepemilikan (property). Sistem atau hubungan-hubungan kepemilikan non-kapitalis yang hidup di tengah masyarakat diingkari dan memaksakan pemberlakuan sistem properti privat yang eksklusif. Marx menyebut proses ini sebagai “enclosure”(Marx membahas soal “enclosure” dalam bab 27 tentang akumulasi primitif di Das Kapital Volume I. Singkatnya, boleh dikata, “enclosure” adalah salah satu metode penting dalam akumulasi primitive, ringkasnya: rampas tanah petani, lantas karena sudah tidak memiliki alat produksi, maka mereka harus menjual tenaga kerjanya secara bebas kepada kelas kapitalis untuk dihisap. Sudah jatuh, ditimpa tangga pula). Dengan demikian, aktivitas masyarakat berbasis kepemilikan non-kapitalis menjadi rentan dan dapat dianggap ilegal. Dalam peristiwa Kabaena, kegiatan para nelayan dan petani yang bertumpu di atas klaim hubungan-hubungan kepemilikan non-kapitalis dianggap ilegal. Kejadian itu menjadi contoh bagaimana aparat kekerasan Negara digunakan secara efektif untuk melindungi sistem kepemilikan kapitalis.

Kendati secara nasional, ada beberapa undang-undang, sebagai penjabaran konstitusi 1945, yang mengakui hak-hak petani dan nelayan, tetapi di bawah rejim kapitalisme, hak-hak di bawah sistem kepemilikan non-kapitalis sejatinya tidak diperhitungkan dan cepat atau lambat akan dimusnahkan. Di wilayah-wilayah di mana kapital belum menunjukkan batang hidungnya, para petani dan nelayan dapat mempertahankan hubungan-hubungan properti mereka dengan leluasa. Tetapi, seperti tsunami datang, kapital dapat menghancurkan sistem properti non-kapitalis seketika. Konsititusi dan undang-undang jadinya, kurang dan lebih, hanya merupakan pengakuan formal saja. Sementara kelas yang memerintah dengan mudah memajukan kepentingan kelasnya melampaui formalisme konstitusi.

Menyadari kontradiksi akibat ekspansi kapital, yakni, penghancuran hubungan-hubungan kepemilikan non-kapitalis, maka para penganjur kapitalisme menggagas program-program berbasis tanggung jawab moral, menggantikan isu-isu kepemilikan. Terkenal dalam program ini adalah tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR), yang tampaknya tidak lebih dari usaha pencitraan wajah manusiawi kapitalisme. Fakta bahwa CSR mengundang protes warga dibeberapa daerah yang berakhir dengan kriminalisasi, menunjukkan bahwa konsep ‘tanggung jawab sosial perusahaan’ memang bermasalah. CSR, karenanya, cukup dibaca sekadar sebagai strategi bisnis kelas kapitalis dalam mengiklankan citra perusahaan yang baik, yang membedakannya dari sesama kompetitor-kompetitornya.

Kisruh tambang di Pulau Kabaena perlu dicarikan jalan keluarnya melalui beberapa tingkatan. Pertama, terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pihak kepolisian RI, misalnya, telah memeriksa beberapa anggota Brimob yang bertugas di Malapulu lalu memutasi mereka ke daerah lain. Karena kesalahan dalam kasus-kasus sejenis kerap ditimpakan kepada petugas aparat keamanan pada level yang rendah, maka diperlukan institusi lain, katakanlah Komnas HAM, untuk menangani pelanggaran HAM, dengan mengusut di tingkat komando berkenaan dengan kebijakan dan pengerahan pasukan ke Kabaena. Dengan begitu, penegakan hukum berlaku adil ke dalam institusi aparat keamanan, yakni, tidak mengorbankan atau mengambing-hitamkan serdadu berpangkat rendah.

Kedua, Izin Usaha Pertambangan semua perusahaan di Kabaena mesti ditinjau ulang, karena telah memicu kekerasan dan kriminalisasi. Termasuk menimbang tuntutan untuk menghentikan operasi perusahaan di Kabaena, seperti disampaikan ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Peduli Kabaena serta beberapa gerakan protes lainnya, ketika berunjuk rasa beberapa waktu lalu. Sejauh ini, dari insiden-insiden sejenis, sebagai buah dari konflik karena ekspansi kapital, pihak korporasi selalu lolos dari penilaian ulang, termasuk jeratan hukum.

Ketiga, kisruh tambang di pulau Kabaena khususnya di wilayah Kabaena Selatan hanya salah satu contoh dari kekerasan-kekerasan dalam industri ekstraktif yang sudah berulang di tanah air. Karena, asal-muasal problem adalah ekspansi kapital, maka kritik terhadap industri ekstraktif tidak memadai lagi menggunakan kacamata lama, yang berkutat pada soal-soal mikro penggusuran dan perampasan alat produksi. Sebuah kritik menyeluruh dapat dimulai dari menyoal aspek-aspek mikro secara konsisten, tetapi dalam waktu yang sama bergerak untuk mengerti logika kontradiksi dalam sistem kapitalisme yang melandasinya. Yakni, karakter progresif sistem ini untuk ekspansi dengan mengeliminasi ruang produksi non-kapitalis.

Turunannya, resistensi terhadap industri ekstraktif tidak cukup memakai pendekatan konvensional, yang menyoal aspek-aspek fragmentaris tertentu saja, katakanlah, soal pelanggaran HAM, lingkungan hidup, atau hak masyarakat adat secara terisolasi. Resistensi mesti lebih radikal, dengan mengombinasikan soal-soal itu dalam kerangka anti-kapitalisme sebagai fondasinya, dengan titik masuk penolakan akumulasi primitive termasuk memberikan solusi kepada warga untuk membenahi system produksi atas hasil pertanian dan kelautan mereka agar lebih tepat guna ketimbang memikirkan upah dari industry ekstraktif yang tak seberapa jumlah serta rentan waktunya yang relative singkat. Tanpa kejelasan anti-kapitalisme, maka resistensi akan mudah jatuh ke dalam, atau tidak lebih dari proyek reformis, bagian dari proyek liberalisme politik dan ekonomi di bawah hegemoni kapitalisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar